RENUNGAN SEPUTAR PENDIDIKAN DI NEGERI INI PART 1

Sudah menjadi tanggung jawab bagi kita bersama untuk ikut serta memajukan pendidikan di negeri ini sesuai dengan peran kita masing-masing. Pendidikan di negeri ini, siapapun pasti tahu, bahwa kwalitas pendidikan kita saat ini sedang mengalami penurunan di banding negara-negara tetangga bahkan di kawasan Asia Tenggara.

Sebuah postingan yang saya ambil dari seorang penulis lewat laman page-nya rasanya perlu untuk saya arsipkan sebagai bahan renungan bagi kita bersama, untuk ikut mengapresiasi pendidikan yang sedang kita jalankan saat ini.

Berikut ini kutipan dari laman page Tere Liye, seorang penulis.

*Ngeri
Saya baru saja membaca soal UN anak SD, pelajaran Matematika.
Ngeri, dek, bacanya. Saya merenung, kalau saya mendadak disuruh ikut UN, mengerjakan soal2nya, apakah saya bisa sebagus anak2 kita yang masih usia 12 tahun, bisa lulus? Atau jangan2, saya butuh kursus persiapan UN dulu selama tiga bulan, baru PD ikutan. Saya tidak sedang lebay, dan sy tidak bodoh-bodoh amat soal Matematika, jelek2 gini, saya pernah gagal kompetisi seleksi olimpiade matematika ke Mumbai India tahun 1996 (gagal sih, jadi mungkin memang dodol matematikanya). Silahkan cari soal UN-nya, baca sendiri, maka mungkin wajah cengengesan kita yang suka menggampangkan masalah baru tersumpal kaku.

Entahlah. Membaca soal2 UN ini, saya kadang tidak mengerti lagi definisi pendidikan yang sejati. Atau tepatnya, menyaksikan anak2 kita “dipaksa” mengikuti UN, jutaan jumlahnya, dari Sabang sampai Merauke, sedini itu sudah dikasih target ini itu. Sekecil itu sudah dipenuhi dengan ambisi orang dewasa di sekitarnya. Sebenarnya siapa sih yang butuh pendidikan? Mereka yang butuh? Atau kita yang sedang habis2an mencekoki anak2 kita dengan tameng kompetisi dunia, dll.

Saya menulis 4 novel serial anak2 Mamak (Burlian, Amelia, Eliana dan Pukat), berisi ttg pendidikan anak2 di kampung pedalaman Sumatera, saya juga menulis novel2 lain yang dipenuhi poin2 tentang pendidikan, menurut hemat saya, semua anak khas, ada yang jago melukis, ada yang jago bernyanyi, ada yang pintar bercocok tanam, ada juga yang ahli berdagang, dan tidak lupa, ada anak yang dengan mudah bisa mengerjakan soal matematika Universitas padahal dia masih SD. Semua anak khas, punya kelebihan dan kekurangan, maka kita tidak perlu memaksa mereka agar memiliki kemampuan yang sama. Dan saya memahami, untuk anak2 SD, pendidikan karakter, jauh lebih mendesak dibanding yang lain.

Tapi menyimak soal UN ini, sekali lagi entahlah, sy tidak tahu apakah pemahaman saya tentang pendidikan ini sudah bagus atau tidak. Karena di luar sana, banyak juga yang punya pemahaman sama seperti ini, tapi dia justeru berdiri paling depan, memaksa anak2 kecil untuk di uji ini, di uji itu. Semua dinilai, semua dievaluasi. Padahal hei, mereka masih anak kecil. Tidakkah kita mau belajar dari negara2 lain, yang bahkan tidak mengenal test ini itu bagi anak2nya seusia tersebut, SDM mereka jauh lebih berbobot.
Saya lagi malas menulis panjang lebar. Baiklah, poin dari catatan ini simpel: kalau saya berkuasa penuh di negeri ini, habis anak2 SD UN, maka akan saya suruh seluruh Bupati, Gubernur, Menteri, anggota DPR, DPRD, bahkan Presiden, semua harus mengerjakan soal UN anak2 SD ini. Biar kita tahu sama tahu, apa sih yang sedang dihadapi oleh anak2 kita yang masih kecil2 itu, usianya baru 12 tahunan itu di sekolahnya.

Saya mau lihat, saat kita memaksa anak2 kita dapat nilai 6, apakah kita bisa dapat nilai 6 mengerjakan UN mereka? Atau jangan2, nilai kita lebih buruk dibanding mereka. Saya mau menyaksikan, saat kita menuntut ini-itu, standar ini-itu bagi mereka yang masih 12 tahun, jangan2, kita bahkan separuhnya tidak mampu memenuhi standar tersebut.
Coba saja! Saya mau lihat hasilnya.

*Tere Liye

**saya tahu di SD, pemerintah pusat tdk lagi menyebutnya UN, mereka bilang itu UAS (ujian akhir sekolah), soal dibuat Pemda (jadi kalau ada apa2, enak banget ngelesnya, tinggal salahkan pemda). Tapi Tuan, Nyonya, mau apapun pendekatan pemerintah pusat sekarang, mereka tetap bertanggung-jawab penuh. Nasib, kurikulum ganti terus, nama ujian juga gonta-ganti, tapi poinnya tetap sama: anak2 stres setiap UN. Dan sssttt.... yang penting memang proyek terussssss berjalan.

0 Comments

Iklan